Minggu, 04 September 2011

HAKIKAT MANUSIA INDONESIA

A. Hakikat Manusia dan Pengembangan Dimensi Manusia
1. Pengertian hakikat manusia
Manusia adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Dalam rentang ruang dan waktu manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri yang dipelajarinya melalui berbagai pendekatan (commonsense, ilmiah, filosofis, religi) dan atau melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropologi, psikologi, politik). Sebab itu kita dapat menemukan berbagai ragam pengetahuan dengan karakteristiknya masing-masing dalam khasanah pengetahuan tentang manusia.
Dalam kehidupan yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal, baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, dan kebiasaannya, Namun demikian, dibalik keanekaragamannya itu terdapat satu hal yang menunjukkan kesamaan diantara semua manusia, yaitu manusia adalah manusia. Berbagai kesamaan yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia, sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya. Contoh: manusia adalah animal rasional, animal symbolicum, homo faber, homo sapiens, homo socius, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia menjadi apa yang terwujud, “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik yang khas, “sesuatu yang olehnya” ia merupakan sebuah nilai yang unik, yang memiliki martabat khusus (Louis Leahy (1985) dalam Wahyudin (2009)). Aspek-aspek hakikat manusia antara lain berkenaan dengan asal usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisiknya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama.

2. Sifat hakikat manusia
Sifat hakikat manusia adalah obyek studi filsafat, lebih spesifik lagi adalah tugas antropologi (filsafat antropologi) untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah manusia itu”? Adapun pertanyaan tersebut antara lain berkenaan dengan (1) asal usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan apakah beradanya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil ciptaan Tuhan? (2) Stuktur metafisik manusia, apakah yang esensial dari manusia itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa. (3) berbagai karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.
Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktik melainkan praktik yang memiliki landasan dan tujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual)membedakan manusia dari hewan.

3. Wujud sifat hakikat manusia
Mengenai wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan), akan dipaparkan oleh paham eksistensialisme dengan tujuan agar menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu:
a) Kemampuan Menyadari Diri
Kaum rasional menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia,mereka) dan dengan no-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya.
b) Kemampuan bereksistensi
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menempatkan diri dan menerobos. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan ”berada” seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” di muka bumi. Jika seandainya pada diri manusia ini tidak terdapat kebebasan, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku mahkluk infra human, dimana hewan menjadi orderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.
c) Kata hati (conscience of man)
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya, bagi manusia sebagai manusia.
d) Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebuat etika) adalah perbuatan itu sendiri. Disini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral. Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan
e) Tanggung jawab
Kesedian untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntunan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan.
f) Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntunan kodrat manusia. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntunan kodrat manusia. Kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatanya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya, yaitu kata hati yang sesuai dengan kodrat manusia.
g) Kewajiban dan hak
Pada dasarnya hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu sesorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban karena pemenuhan hak dan pelaksaaan kewajiban dibatasi oleh situasi kondisi, yang berarti tidak semua hak dapat terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan.
h) Kemampuan Menghayati Kebahagian
Pada saat orang menghayati kebahagian, aspek rasa lebih berperan dari pada aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan bahwa kebahagian itu sifatnya irasional. Kebahagian itu ternyata tidak terletak pada keadaanya sendiri secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesangguapan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan takdir.
Manusia yang menghayati kebahagian adalah pribadi manusia dengan segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia menghayati kebahagaian apabila jiwanya bersih dan stabil, jujur, bertanggung jawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis (menurut pandangan Max Scheler (drijarkara,1978:137-140)).

Dalam sebuah buku karya Jujun S. Suriasumantri diceritakan bahwa ada seorang professor yang penuh humor membahas permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak di bawah ini:
What is a man?
What is?
What?
Maksudnya adalah bahwa pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu. Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa setiap ilmu, terutama ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Sebagai contoh yang berdekatan yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan sebisa mungkin (dalam proposisi ilmiah: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu manajemen mempunyai asumsi lain, karena manajemen bertujuan menelaah kerjasama antarsesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama. Jadi, ada sebuah kalimat bijak bahwa “The righ (assumption of) man on the right place” harusnya menjadi pijakan pada masing-masing disiplin ilmu ketika berbicara tentang hakikat manusia.

4. Dimensi hakikat manusia, potensi, keunikan, dan dinamikanya
Selain sebagai makhluk Allah SWT manusia memiliki potensi sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Dengan dibekali oleh akal pikiran ini cenderung mendekati fungsi manusia sebagai khalifah di bumi. Berdiri sendiri dimaksudkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, perkataan dan persetujuan selama hidup di bumi sebagai pemilik, pengelola dan pemakai (konsumen) titipan Allah SWT. Dari peran ini diharapkan manusia dapat menciptakan hidup harmonis di muka bumi, jangan berbuat kerusakan, untuk menumbuh kembangkan potensi ini diperlukan proses pendidikan.
Dalam pengembangannya perlu diperhatikan dimensi-dimensi manusia. Prayitno (1990) dalam Jumali (2008) merumuskan tentang dimensi manusia sebagai dimensi keindividualan (individualitas), dimensi kesosialan (sosialitas), dimensi kesusilaan (moralitas) dan dimensi keagamaan (religiusitas).
1. Dimensi keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai ”orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide).Sedangkan M. J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di Negeri Belanda) mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas. Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupan ciri yang yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. M.J.Langeveld menyatakan bahwa setiapa anak memiliki dorongan unetuk mandiri yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan.
2.Dimensi kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosial. Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Immnauel Khan seorang filosof tersohor bangsa Jerman menyatakan: “Manusia hanya bisa menjadi manusia jika berada diantara manusia.” Dikatakan demikian karena orang dapat mengembangkan individualitasnya didalam pergaulan sosial, artinya seseorang mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya. Hanya didalam berinterkasi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya.
3.Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, didalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Maka dapat dikatakan bahwa kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan.
4.Dimensi keberagamaan
Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama.

5. Pengembangan dimensi hakikat manusia
Pengembangan dimensi keindividuan harus diimbangi dengan dimensi kesosialan. Pengembangan dimensi kesosialan menuntut interaksinya dengan lingkungan sehingga harus berinteraksi, bergaul, bekerjasama, dan hisup bersama orang lain. Tumbuh kembangnya
Dimensi keindividuan dan kesosialan akan saling mengisi dan saling menemukan makna sesungguhnya. Dimensi kesusilaan, akan memberikan corak moral dalam pengembangan dimensi pertama dan kedua. Norma, etika dan berbagai nilai sosial mengatur bagaimana kebersamaan antar individu. Hidup bersama orang lain, dalam rangka mengembangkan dimensi kemanusiaan tidak dapat dilakukan semau gue , tetapi harus diselenggarakan sedemikian rupa agar bermanfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan.
Pengembangan dimensi pertama, kedua, dan ketiga baru menekankan kehidupan manusia di dunia. Kehidupan manusia yang lengkap meliputi dunia dan akhirat, sehingga diperlukan pengembangan dimensi keagamaan.
1) Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Pengembangan dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap pembinaan dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras. Perkembangan yang dimaksud mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptakan keseimbangan) dan yang bersifat vertical (yang menciptakan ketinggian martabat manusia). Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.
2) Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan dikatakan tidak utuh apabila didalam proses pengembangan ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan yang semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

B. Hakikat Manusia dalam Pandangan Islam
Ajaran Islam melihat bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Berdasar sudut pandangan ini pula, filsafat pendidikan Islam menempatkan status manusia dan segala aspeknya dalam konteks pendidikan.
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk ciptaan Allah SWT (Q.S. 95:4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (Q.S. 15: 29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakikat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT selaku penciptanya (Q.S. 51:56). Sejalan dengan kepentingan itu maka kepada manusia dianugerahkan oleh penciptanya berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang bterarah, taratur, dan berkesinambungan. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk dididik (animal educable). Manusia adalah makhluk yang dapat mengembangkan diri sendiri sejalan dengan potensi yang dimilikinya (homofaber). Dalam pandangan ini manusia dinilai sebagai makhluk eksploratif mampu dikembangkan dan sekaligus mampu untuk mengembangkan diri.

C. Karakteristik Manusia Indonesia
1. Karakteristik fisik suku–suku bangsa di Indonesia
Kajian tentang karakteristik fisik manusia Indonesia meliputi cirri bentuk kepala, bentuk rambut, warna kulit, tinggi badan dari suku-suku bangsa di Indonesia yang dikelompokkan ke dalam ras tertentu. Seperti dikemukakan oleh Agraha Suhandi (1985) dalam Wahyudin (2008) berdasarkan hasil penelitian bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia dapat digolongkan kedalam 3 ras, yaitu:
- Ras Negroit (Negrito): berkulit hitam, rambut keriting, tinggi badan lebih kurang 1,5m, kepala pendek (branchicephali). Unsur ras ini tampak antara lain pada suku bangsa Irian Jaya (Papua).
- Ras Vedoid (Wedda): kulit sawo matang, rambut ikal atau bergelombang, tinggi badan lebih kurang 1,5m, bentuk kepala panjang (dolicho chepali). Unsur ras ini tampak antara lain pada suku bangsa Enggano, Kubu, Dayak Barito, Toala di Sulawesi, Mentawai, Nias, dan tampak sebagian kecil pada suku bangsa Batak.
- Ras Mongoloid; di Indonesia kadang disebut juga ras melayu dengan karakteristik: kulit agak kuning, rambut lurus, tinggi badan lebih kurang 1,5m, bentuk kepala pendek. Suku bangsa yang menampakkan karakteristik ras ini merupakan sebagian besar yang sampai sekarang terdapat di Indonesia.
Ras tersebut berasal dari Hindia Belakang yang kemudian pindah ke Indonesia karena berbagai sebab (Agraha Suhadi (1985) dalam Wahyudin (2008)).
2. Karakteristik lingkungan fisik manusia Indonesia
Wilayah NKRI luasnya lebih kurang 1.926.170 km persegi. Wilayahnya berupa kepulauan Nusantara yang terdiri atas lebih kurang 13.000 pulau yang meliputi laut, pedalaman diantara pulau-pulaunya. Dibandingkan Negara lain, betapa luasnya Negara kepulauan kita bahkan ada yang hingga kini pulau-pulau tersebut kosong tidak berpenghuni.
Secara geografik wilayah NKRI terletak diantara benua Asia dan benua Australia, dan diantara samudra India dan samudra Pasifik. Posisi silang ini tentu saja memiliki implikasi fisikal, sosial, ekonomi, maupun politik.
Secara astronomic wilayah NKRI terletak antara 95 derajat bujur timur dengan 141 derajat bujur timur, dan antara 6 derajat lintang utara dengan 11 derajat lintang selatan. Akibat letak astronomic tersebut seluruh wilayah NKRI beriklim tropika, berlangsung dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Adapun mengenai waktu terdapat 3 daerah waktu, yaitu WIB, WIT, dan WITA.
Lingkungan fisik masyarakat Indonesia terdiri atas pegunungan, hutan, perbukitan, sungai, pesisir pantai, lautan, dataran, rawa-rawa. Ditinjau dari segi topografi lingkungan fisik ini ada yang berupa lereng yang curam, landai, datar, lembah. Sedangkan ditinjau dari segi hidrologi lingkungan fisik ini ada yang gersang, kering, lembab, dan basah.
Diperkirakan 20% masyarakat kita bermukim di berbagai kota. Dalam konteks ini yang dimaksud kota adalah ibu kota: Negara, provinsi, kabupaten atau kota, kecamatan. Sedangkan 80% lainnya bermukim di pedesaan atau perkampungan. Lingkungan fisik pemukiman mereka juga beragam, antara lain ada yang bermukim di sepanjang jalan, di tepian sungai seperti suku Bugis-makasar, di puncak bukit atau gunung seperti bangsa Nias, di atas rawa-rawa, lembah-lembah, tepian pantai, dan sebagainya. Diantara lingkungan fisik tersebut adapula yang tinggal di pedalaman terpencil seperti suku Kubu yang bermukim di perbatasan Jambi-Palembang.
Tuhan menganugerahi masyarakat Indonesia lingkungan fisik yang luas, bervariasi, dan mengandung kekayaan luar biasa sebagai sumber daya alam bagi pembangunan yang mendukung bagi pencapaian kemakmuran. Lingkungan fisik yang beriklim tropis sangat kondusif untuk pertanian, dan pada umumnya tanahnyapun subur, mempunyai berbagai sumber mineral, sumber minyak, hutan kayu, kekayaan laut, gunung berapi, keragaman tumbuhan, keragaman satwa. Selain itu lingkungan fisik masyarakat Indonesia juga mempunyai keindahan tersendiri. Manusia Indonesia sepatutnya bersyukur kepada Tuhan YME, memanfaatkan kekayaan lingkungan fisik tersebut dengan mengolahnya secara bijaksana agar kelestariannya dan keutuhannya tetap terjaga demi kesejahteraan seluruh masyarakat (bangsa) Indonesia.
3. Kemajemukan sosial-budaya manusia Indonesia
Suasana suku bangsa yang terdiri dari beragam adat istiadat merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan para warga masyarakat suku bangsa yang berlandaskan pada pranata sosial yang bersumber dari kebudayaan suku bangsa. Suasana ini terwujud dalam kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat di desa, hubungan-hubungan kekerabatan, dan dalam berbagai upacara dan ritual social keagamaan. Suasana umum local lebih nampak di kota dari pada di desa karena di kotalah biasanya warga dari berbagai suku bangsa itu lebih banyak dan lebih sering bertemu. Adapun suasana social biasanya terwujud dalam berbagai kegiatan di kantor-kantor pemerintah, sekolah, dan perguruan tinggi dan berbagai upacara yang bersifat nasional. Dalam suasana nasional identitas yang digunakan para pelakunya dalam berinteraksi adalah bersumber pada system penggolongan dan peranan yang ada dalam kebudayaan nasional. Enam unsure kebudayaan yaitu: pola perkampungan/ desa, system kemasyarakatan, system kekerabatan, mata pencaharian hidup, bahasa, kesenian, dan agama.


D. Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan didalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata di seluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan keselarasan hubungan antara manusia dengan TuhanNya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagian di akhirat.

E. Ciri dan karakter manusia Indonesia
Kalau kita melihat ciri-ciri sikap bangsa Indonesia khususnya, dan sikap bangsa-bangsa yang ada di dunia ini pada umumnya hampir sama (universal) dari dulu sampai sekarang tidak ada perubahan. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Muchtar Lubis dalam bukunya "Manusia Indonesia" (1975) bahwa manusia Indonesia mempunyai ciri-ciri seperti berikut:
1. Hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka – lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak meraka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya”, adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indonesia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang suatu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seterusnya.
3. Berjiwa feodal. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah untuk juga membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia. Sikap-sikap feodalisme ini dapat kita lihat dalam tatacara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian (umpamanya jelas dicerminkan dalam susunan kepemimpinan organisasi-organisasi isteri pegawai-pegawai negeri dan angkatan bersenjata), dalam pencalonan isteri pembesar negeri dalam daftar pemilihan umum. Isteri Komandan, isteri menteri otomatis jadi ketua, bukan berdasar kecakapan dan bakat leadershipnya, atau pengetahuan dan pengalamannya atau perhatian dan pengabdiannya.
4. Masih percaya takhyul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuataan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua. Kepercayaan serupa ini membawa manusia Indonesia menjadi tukang bikin lambang. Kita percaya pada jimat dan jampe. Untuk mengusir hantu kita memasang sesajen dan bunga di empat sudut halaman, dan untuk menghindarkan naas atau mengelakkan bala, kita membuat tujuh macam kembang di tengah simpang empat. Kita mengarang mantera. Dengan jimat dan mantera kita merasa yakin telah berbuat yang tegas untuk menjamin keselamatan dan kebahagiaan atau kesehatan kita. Alangkah ironisnya karena kebiasaan tersebut masih tumbuh subur, padahal kita sudah memasuki era millennium yang semuanya serba digital dan canggih!
5. Artistik. Karena sifatnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasan-perasaan sensuilnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serbaneka macamnya, variasinya warna-warninya. Barangkali ini adalah karakter positif pertama yang kita jumpai.
6. Watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang dapat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk ’survive’ bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektuil amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.
7. Tidak hemat, dia bukan “economic animal”. Dalam tinjauan filsafat sesungguhnya manusia salah satunya disebut economic animal, namun dewasa ini kenyataannya bertolak belakang, yang terjadi justru manusia Indonesia pandai mengeluarkan terlebih dahulu penghasilan yang belum diterimanya, atau yang akan diterimanya, atau yang tidak akan pernah diterimanya. Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.
8. Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa. Gejalanya hari ini adalah cara-cara banyak orang ingin segera menjadi “miliuner seketika”, seperti orang Amerika membuat instant tea, atau dengan mudah mendapat gelar sarjana sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya.
9. Manusia Indonesia kini tukang menggerutu. Tetapi menggerutunya tidak berani secara terbuka, hanya jika dia dalam rumahnya, atau antara kawan-kawannya yang sepaham atau sama perasaan dengan dia. Cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia.
10. Manusia Indonesia juga dapat dikatakan manusia sok. Kalau sudah berkuasa mudah mabuk berkuasa. Kalau kaya lalu mabuk harta, jadi rakus.
11. Manusia Indonesia juga manusia tukang tiru (plagiat). Kepribadian kita sudah terlalu lemah. Kita tiru kulit-kulit luar yang mempesonakan kita. Banyak yang jadi koboi cengeng jika koboi-koboian lagi mode, jadi hipi cengeng jika sedang musim hipi. Tidak hanya itu, kaum muda intelektualpun kini mulai malas menggali ilmu, misalnya dalam penyusunan skripsi/ thesis menjiplak skripsi/ thesis karya orang lain.
Mayoritas penilaian Lubis bersifat negatif. Walaupun penilaian itu juga belum tentu valid dan menggambarkan mayoritas manusia Indonesia, bagian ini tetap menarik, karena paparan ini adalah kritikan tajam terhadap semua kebobrokan yang terjadi di negeri ini, sebagai akibat sebagian manusianya tidak memahami hakikatnya sebagai manusia.
Karakter manusia Indonesia yang lainnya dikutip dari Laporan Wartawan Kompas M Zaid Wahyudi JAKARTA (diambil dari internet), bahwa manusia Indonesia dicirikan dengan karakter yang picik, solidaritas rendah, serba instan, dan sulit menerima kekalahan. Kondisi tersebut membuat keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia sulit diwujudkan.
Selain itu tanggapan senada disampaikan oleh seorang penggiat filsafat kebudayaan Tony Doludea di Jakarta, Jumat (16/3) sore (diambil dari internet) mengatakan karakter manusia Indonesia adalah mudah iri hati, picik, dan tidak menyadari solidaritas untuk tujuan bersama. Mereka juga suka memperoleh sesuatu secara instan, mengabaikan proses dan kerja keras, percaya terhadap klenik, dan tidak dapat menerima kekalahan. Karakter itu ada dalam diri seluruh manusia Indonesia, mulai dari politisi, akademisi, intelektual, pemimpin, tokoh agama, hingga orang awam dan rakyat miskin.
Ciri lainnya dari manusia Indonesia adalah berpikir pendek, tidak punya visi jauh ke depan. Hal ini terkait erat dengan dua ciri di atas, mau cepat kaya supaya bisa hidup mewah dan boros, tapi di lain pihak tidak mau bekerja keras. Jadilah berpikiran pendek dan tidak punya visi. Contoh, khususnya terkait pengembangan benih padi hibrida. Indonesia tidak mau mengembangkan benih padi hibrida, karena lebih senang jalan pintas yaitu membeli benih dari China. Dalam jangka panjang pola seperti ini jelas tidak ada manfaatnya, karena menyebabkan ketergantungan kita pada China. Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya visi tentang masa depan. Apabila semua mental ini terpenuhi jadilah manusia Indonesia makhluk yang bodoh. Indonesia yang kaya raya dengan hasil tambang emas, minyak, tembaga, kaya dengan tanah yang subur dan hasil bumi, kaya dengan budaya yang beragam, kaya dengan hutan raya berikut flora faunanya, saat ini menjadi bangsa yang terpuruk, terjerat hutang, bergantung pada negara lain, dilecehkan oleh negara tetangga. (diposting oleh Peduli Indonesia).
Mental manusia Indonesia tersebut membuat masyarakat tidak lagi percaya kepada kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Kondisi tersebut membuat keadilan dan kesejahteraan sulit diwujudkan di Indonesia.

III. Penutup
A. Simpulan
Alasan mempelajari sifat hakikat manusia adalah untuk mengetahui gambaran yang jelas dan benar tentang manusia agar dapat memberi arah yang tepat kemana peserta didik harus dibawa.
Disebut sifat hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi edukatif. Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.
Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan pelaksaaan usaha kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi lebih professional.
Manusia atau masyarakat Indonesia bersifat majemuk, tetapi mereka tetap satu, yaitu bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia meliputi karakteristik fisiknya, karakteristik lingkungan fisiknya, dan sosial-budayanya.

B. Saran
Paradigma tentang memahami hakikat manusia Indonesia harus terus dikembangkan agar manusia Indonesia kembali lagi pada hakikatnya sebagai manusia pancasilais, menjadikan pancasila sebagai falsafah bernegara sehingga menuntun individu manusia Indonesia menjadi individu yang memiliki nilai-nilai positif. Hal ini penting untuk memperbaiki semua kebobrokan di negeri ini, karena negeri ini sedang mengalami krisis moral, krisis etika akibat manusianya meninggalkan hakikatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang kelak akan diminta pertanggung jawaban atas segala yang dilakukan di muka bumi.

Daftar Pustaka

Jumali, dkk. 2008. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Suriasumantri, Jujun S.. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wahyudin, dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

http://indonesiacommunity.multiply.com/journal/item/284

http://peduliindonesia.blogspot.com/2010/02/karakter-manusia-indonesia.html

http://pkmsungaiayak.wordpress.com/2010/11/06/ciri-ciri-manusia-indonesia






Tidak ada komentar:

Posting Komentar