Senin, 19 Desember 2011

PERAN FILSAFAT PANCASILA DALAM PENDIDIKAN BERKARAKTER

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia yang ada dimuka bumi ini, karena melalui pendidikan maka manusia akan bisa melakukan perubahan dari masa ke masa. Didalam dunia pendidikan, pelaksanaan pendidikan bisa dilalui oleh tiga cara, yang pertama adalah pendidikan informal. Pendidikan ini merupakan pendidikan dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Karena pendidikan informal telah mulai dirasakan saat manusia baru lahir kemuka bumi, dengan makna lain, pendidikan informal merupakan pendidikan yang diadakan dirumah tangga.
Yang kedua adalah pendidikan formal, pendidikan yang didapat oleh manusia melalui sistem yang terencana dan mempunyai payung hukum. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsanya. Dan yang terakhir adalah pendidikan nonformal, yaitu pendidikan yang dilakukan didalam lingkungan masyarakat, pendidikan ini akan berjalan sendirinya selama manusia hidup bersosialisasi dilingkungannya. Ketiga jenis pendidikan ini saling berjalan dan berakitan erat pada waktu tertentu.
Dalam pendidikan tentu mengenal kata filsafat. Ya, filsafat merupakan bidang yang mengakaji pendidikan secara konseptual dan akan diaplikasikan dalam bidang ilmu lainnya. Kebanyakan filsafat berfungsi kepada tatacara, landasan, dasar dan peraturan dalam dunia pendidikan. Di Negara Indonesia sendiri telah mengenal filsafat sejak lama. Banyak lahir karya-karya yang telah mengubah bentuk dan tatanan Negara ini, saalah satunya adalah pancasila. Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang selalu menjadi patokan kemana bangsa ini akan berjalan. Hampir semua aspek berkaitan dengan pancasila. Mulai dari tatanan hidup, tatanan kenegaraan, peraturan yang ada, serta pendidikan.



B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil pokok permasalahan dalam pembuatan makalah ini adalah peran pancasila dalam mengembangkan pendidikan berkarakter di Indonesia.
C. Rumusan Masalah
Pendidikan berkarakter memang menjadi sorotan di Negara Indonesia. Mengapa tidak? Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka nilai-nilai moral dan cirri khas etnik timur akan terkikis, dan salah satu jalan agar hal tersebut tidak terjadi adalah melaksanakan pendidikan berkarakter. Adapun beberapa permasalahan yang timbul adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan pancasila?
3. Apakah yang dimaksud denga pendidikan berkarakter?
4. Bagaimanakah bentuk corat marut moral anak bangsa?
5. Bagaimanakah hubungan antara pancasila dengan pendidikan di Indonesia?
6. Sejauh mana pemahaman para lingkungan pendidikan terhadap nilai-nilai pancasila?
7. Bagaimanakah pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan berkarakter di Negara Indonesia?

D. Tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah bagaimana mengenalkan kepada masyarkat dan warga pendidikan bahwa Negara Indonesia sangat membutuhkan pendidikan berkarakter, dan yang menjadi landasannya adalah pancasila. Namun tujuan lainnya adalah
1. Mengetahui keadaan karakter anak bangsa saat sekarang ini
2. Memahami hubungan pancasila dengan pendidikan berkarakter dinegara Indonesia
3. Memahami sejauh mana pemahaman para lingkungan pendidikan mengerti akan pancasila sebagai falsafah pendidikan
4. Bagaimanakah pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan berkarakter di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
1. Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2. Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3. Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
4. Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
5. Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
6. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
a. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
c. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
d. Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
7. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
8. Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
9. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
10. Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
11. Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
12. Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
13. Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
14. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

B. Pengertian Pancasila
Arti Pancasila berasal dari bahasa sansekerta India (kasta brahmana). sedangkan menurut Muh Yamin, dalam bahasa sansekerta , memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu : panca : yang artinya lima, syila : vokal i pendek, yang artinya batu sendi, alas, atau dasar. Syiila vokal i panjang artinya peraturan tingkah laku yang baik atau penting.
Kata kata tersebut kemudian dalam bahasa indonesia terutama bahasa jawa diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. oleh karena itu secara etimologi kata “pancasila” yang dimaksud adalah istilah “pancasyila” dengan vokal i yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. adapun istilah “pancasyiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna “lima aturan tingkah laku yang penting”
Perkataan pancasila mula-mula terdapat dalam perpustakaan Budha India. ajaran budha bersumber pada kitab suci Tri Pitaka dan Vinaya pitaka, yang kesemuanya itu merupakan ajaran moral untuk mencapai surga. ajaran pancasila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five moral principles, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganutnya. adapun isi lengkap larangan itu adalah :Panatipada veramani sikhapadam samadiyani, artinya “jangan mencabut nyawa makhlum hidup” atau dilarang membunuh.
Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, artinya “jangan mengambil barang yang tidak diberikan.” maksudnya dilarang mencuri. Kameshu micchacara veramani shikapadam samadiyani, artinya jangan berbuat zina. Musawada veramani shikapadam samadiyani, artinya jangan berkata bohong atau dilarang berdusta. Sura merayu masjja pamada tikana veramani, artinya janganlah minum-minuman yang memabukkan.
Nilai nilai pancasila secara intrinsik bersifat filosofis, dan di dalam kehidupan masyarakat indonesia nilai pancasila secara praktis merupakan filsafat hidup (pandangan hidup). nilai dan fungsi filsafat pancasila telah ada jauh sebelum indonesia merdeka. hal ini dibuktikan dengan sejarah majapahit (1293). pada waktu itu hindu dan budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. Empu prapanca menulis “negara kertagama” (1365). dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “pancasila” empu tantular yang mengarang buku “sutasoma” yang di dalamnya memuat seloka yang berbunyi : “Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda namun satu jua adanya, sebab ada tidak agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya realitas kehidupan agama pada saat itu, yaitu agama Hindu dan Budha. bahkan salah satu kerajaan yang menjadi kekuasaannya yaitu pasai jutru telah memeluk agama islam.
Sumpah palapa yang diucapkan Mahapatih Gadjah mada dalam sidang ratu dan para menteri di pasebahan keprabuan Majapahit pada tahun 1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut : “Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jikalau seluruh nusantara bertakhluk di bawah kekuasaan negara, jikalau gurun, seram, tanjungpura, Haru, pahang, Dempo, Bali, Sunda, palembang, tumasik telah dikalahkan”. (Yamin ; 1960:60)
Dalam kehidupan bangsa indonesia diakui bahwa nilai pancasila adalah pandangan hidup (filsafat hidup) yang berkembang dalam sosio-budaya Indonesia. nilai pancasila dianggap sebagai nilai dasar dan puncak (sari-sari) budaya bangsa, karenanya nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa.
Sebagai ajaran filsafat, pancasila mencerminkan nilai dan pandangan mendasar dan hakiki rakyat indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan yang kemudian juga dijadikan fundamental kenegaraan yaitu negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. demikian pula asas kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan seterusnya dimana nilai nilai tersebut secara bulat dan utuh mencerminkan asa kekeluargaan, cinta sesama dan cinta keadilan.
berdasarkan asa-asa fundamental ini, maka disarikan pokok-pokok ajaran filsafat pancasila menurut Lapasila IKIP Malang (yang saat ini menjadi Universitas Malang) sebagai berikut :
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Budinurani manusia
3. Kebenaran
4. Kebenaran dan keadilan
5. Kebenaran dan keadilan bagi bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya pancasila tetap tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang susunan sila-silanya sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
C. Pengertian Pendidikan Berkarater
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggarisbawahi lima hal dasar yang menjadi tujuan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter. Gerakan tersebut diharapkan menciptakan manusia Indonesia yang unggul dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelima hal dasar tersebut adalah: pertama, manusia Indonesia harus bermoral, berahlak, dan berperilaku baik. Oleh karena itu masyarakat diimbau menjadi masyarakat religius yang anti kekerasan.
Kedua, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional. Berpengetahuan dan memiliki daya nalar tinggi.
Ketiga, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inovatif dan mengejar kemajuan serta bekerja keras mengubah keadaan. "Negara tak akan berubah kalau kita tak mengubahnya," kata Yudhoyono saat menyampaikan sambutan dalam Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), Jumat (20/5/2011) malam, di Hall D Pekan Raya Jakarta, Kemayoran.
Keempat, memperkuat semangat harus bisa. Seberat apapun masalah yang dihadapi jawabannya selalu ada.
Kelima, manusia Indonesia harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negara serta tanah airnya.
Yudhoyono sangat berharap pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini akan berdampak positif pada tahun-tahun mendatang, dengan muncul dan lahirnya manusia Indonesia yang unggul. Dengan demikian, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya.
"Kita ingin 10, 20, 30 tahun lagi atau 100 tahun ke depan akan muncul dan lahir manusia Indonesia yang unggul. Mengapa Indonesia memerlukan manusia yang unggul? Tidakkah kita sebagai bangsa ingin dan bertekad di abad 21 menjadi negara maju," papar Presiden.


D. Persoalan karakter anak bangsa.
Berbicara soal karakter, tentu tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki nilai budi pekerti yang luhur, mematuhi norma-norma yang ada, dan memiliki sopan santun yang tinggi. Namun itu hanya catatan sejarah indah masa lalu Indonesia, sekarang Indonesia berada diambang globalisasi, dimana jarak tidak lagi membatasi seseorang dalam memperoleh informasi. Zaman dimana semuanya dapat diperoleh dengan mudah tanpa harus bekerja keras.
Perubahan globalisasi ini tidak hanya membawa dampak positif bagi Indonesia, tetapi juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang jelas terlihat dari globalisasi ini adalah pergeseran nilai-nilai norma yang telah ada. Seperti diketahui, bangsa barat memiliki nilai-nilai yang bertolak belakang dengan bangsa ini, tentu dengar adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat budaya yang ada pada bangsa barat dengan mudah didapat oleh bangsa Indonesia terutama kawula muda. Meskipun kawula muda hanya sebagian dari penduduk Indonesia, namun kawula muda memiliki peran penting dalam perkembangan bangsa ini dimasa yang akan datang. Jika ingin meramal keadaan bangsa dimasa yang akan datang, maka dapat dilihat dari keadaan para kawula muda dimasa sekarang.
Karakter bangsa pada saat sekarang ini jauh dari yang diharapkan, para pelajar tidak lagi mengetahui norma-norma yang berlaku serta adab sopan santu orang timur. Banyak fenomena yang terjadi ditengah masyarakat pada saat sekarang ini yng menunjukkan betapa rendahnya moral anak bangsa. Dibawah ini ada beberapa contoh mrat marutnya moral anak bangsa,
1. Tawuran, 1 Siswi SMK Lawan 6 Siswa Lelaki
Dilaporkan pada hari Selasa, 18 Oktober 2011, 17:16 WIB dari VIVAnews.com bahwa Seorang siswi SMK Penerbangan, diamankan petugas karena terlibat aksi tawuran di kawasan Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, Selasa 18 Oktober 2011. Tidak tanggung-tanggung, dia nyaris terlibat baku hantam dengan 6 pelajar laki-laki dari SMK Bakti Jakarta.


2. Dini Hari, 2 Tawuran Terjadi di Jakarta dan Depok
Diambil dari detiknews.com pada hari Minggu dini hari, Jakarta diwarnai dengan tawuran antar-remaja yang terjadi Jl Raya Pedongkelan, Jakarta Timur. Selain itu di wilayah Cimanggis, Depok juga terjadi tawuran. Berkat kesigapan aparat kepolisian, kedua tawuran tersebut berhasil ditangani dan tidak meluas.
Dua tawuran yang terjadi hampir secara bersamaan tersebut belum diketahui apakah menimbulkan korban atau tidak. Polisi juga masih mendalami motif dari kedua tawuran itu.

3. Rebutan Cewek, Pelajar 2 SMA Tawuran
Pada hari Sabtu, 15 Oktober 2011 19:00 wib di MOJOKERTO Gara-gara rebutan cewek, sejumlah pelajar di Kota Mojokerto, Jawa Timur, terlibat tawuran. Akibatnya, seorang pelajar terluka karena dikeroyok pelajar lainya. Beruntung polisi segera datang ke lokasi dan mengamankan beberapa pelajar yang terlibat.
Peristiwa ini terjadi di sebuah lapangan di Jalan Jeruk Bali, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Sabtu siang. Mereka yang terlibat berasal dari SMA 1 Kota Mojokerto dan SMA Universitas Mayjen Sungkono.
4. Tawuran Pelajar Pecah di Depan Kejagung
Diambil dari okezone.com pada hari Jum'at, 22 Oktober 2010 19:04 wib di JAKARTA Tawuran antarpelajar kembali terjadi di Jakarta. Kali ini pelajar SMA 70 dengan SMK Penerbangan.
Mereka terlibat tawuran usai pulang sekolah. Dua kubu pelajar ini terlibat aksi lempar batu dan pecahan botol. Di antara mereka tampak saling kejar sambil membawa alat pemukul dari potongan kayu dan bambu.



5. Pelajar Tawuran di Kampung Melayu, Kaca Angkot Kena Lemparan Batu
Dimabil dari detiknews.com di Jakarta terjadi Aksi tawuran antarpelajar memanas di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Para pelajar saling 'perang' batu hingga mengakibatkan kaca angkutan kota (angkot) pecah.

Tawuran yang melibatkan puluhan pelajar dari dua sekolah ini terjadi pada Rabu (5/10/2011) sekitar pukul 13.30 WIB.
Dalam aksi tersebut, metromini yang disopiri Ridwan dan tengah terparkir di depan rumah makan terkena lemparan batu pada kaca bagian belakang.
Peristiwa diatas adalah contoh kecil betapa masih rendahnya karakter anak bangsa di Indonesia. Dan hampir setiap hari pemberitaan mengenai tawuran, minuman keras, narkoba, prostitusi menghiasi layar kaca televisi.

E. Hubungan pancasila dengan pendidikan di Indonesia
Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dilihat dari pendekatan ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Diktat “Filsafat Pancasila” (Mien Danumihardja, 2011) menyebutkan secara ontologis berdasar pada pemikiran tentang negara, bangsa, masyarakat, dan manusia. Secara epistemologis berdasar sebagai suatu pengetahuan intern struktur logis dan konsisten implementasinya. Secara aksiologis bedasar pada yang terkandung di dalamnya, hirarki dan struktur nilai, di dalamnya konsep etika yang terkandung.
Dasar ontologis Pancasila sebagai sistem filsafat bisa diinterpretasi bahwa adanya negara perlu dukungan warga negara. Kualitas negara sangat bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas warga negara sangat erat berkaitan dengan pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik, karena landasan pendidikan haruslah mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara harus benar-benar memperkuat landasan pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya keserasian hubungan antara negara dengan warga negara.
Dasar epistemologis Pancasila sebagai sistem filsafat adalah Pancasila merupakan sumber pengetahuan, sistem pengetahuan, dasar kebenaran pengetahuan, dan cara mendapatkan pengetahuan. Unsur-unsur tersebut amat berguna untuk memperkokoh landasan pendidikan. Hal tersebut bisa dikaitkan dengan pendidikan sebagai sebuah studi yang lebih berorientasi pada penelitian (inquiry oriented) dan pendidikan sebagai sebuah praktik. Filsafat Pancasila akan berguna untuk menunjang kedua ranah pendidikan tersebut.
Dasar epistemologis Pancasila sebagai sitem filsafat adalah Pancasila sebagai hakikat nilai, sumber nilai, dan struktur nilai. Sebagai dasar filsafat negara, penjabarannya diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan dan aspek normatif lainnya. Aplikasinya dalam berbagai bidang dan berbagai kebijaksanaan dalam setiap program, termasuk bidang pendidikan.
Kontribusi filsafat Pancasila sebagai landasan pendidikan bisa pula dilihat secara das sein (fakta sebagaimana adanya) dan das sollen (bagaimana yang diinginkan dan seharusnya). Sila-sila dalam Pancasila merupakan realitas yang tumbuh subur berabad-abad di bumi nusantara. Aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial dipetik dari bumi Indonesia sendiri, yang menjadi ruh landasan bernegara dan bermasyarakat. Pemeliharaan aspek-aspek tesebut selama berabad-abad merupakan bidang pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang makin memperkokoh landasan bernegara. Fakta semacam ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena das sein tersebut secara nyata telah menjadi acuan landasan bernegara.
Secara das sollen, jika dikaitkan dengan pendidikan, bisa dilihat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dua kalimat tersebut bukan hanya mencerminkan pentingnya pendidikan, tetapi juga menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Memajukan kesejahteraan umum sangat berhubungan dengan hasil pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa diperoleh dari proses pendidikan yang berkualitas. Demikian pula, dua kalimat itu juga menjadi landasan, dasar dan inspirasi bagaimana pendidikan seharusnya diselenggarakan.
Filsafat Pancasila erat pula kaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan. Pancasila bukan hanya sebagai ideologi negara dan dasar negara. Lebih dari itu adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan kepribadian bangsa. Faktor-faktor tersebut akan memeperkokoh identitas nasional. Das sein dan das sollen dalam Pancasila sebagai sistem filsafat mengungkapkan bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa dan menggambarkan bagaimana membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Demokrasi Pancasila menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk masyarakat, negara dan masyarakat bangsa ( Arbi, 1998 ). Orientasi hidup kita adalah hidup kemanusiaan yang mempunyai ciri - ciri tertentu. Ciri - ciri kemanusiaan yang kelihatan dari Pancasila ialah integral etis dan religius ( Soeyatni Poeposwardoyo, 1989 ). Filsafat pendidikan Pancasilamengimplikasikan ciri - ciri tersebut.
Integral
Kemanusiaan yang diajarkan oleh Pancasila adalah kemanusiaan yang integral, yakni mengakui manusia seutuhnya. Manusia diakui sebagai suatu keutuhan jiwa dan raga, keutuhan antara manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kedua hal itu sebenarnya adalah dua sisi dari satu realitas tentang manusia. Hakekat manusia yang seperti inilah yang merupakan hakekat subjek didik.
Etis
Pancasila Merupakan Kualifikasi etis. Pancasila mengakui keunikan subjektivitas manusia, ini berarti menjungjung tinggi kebebasan, namun tidak dari segalanya seperti liberalisme. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Religius
Sila pertama pancasila menegaskan bahwa religius melekat pada hakekat manusia, maka pandangan kemanusiaan Pancasila adalah faham kemanusiaan religius. Religius menunjukan kecendrungan dasar dan potensi itu.
Pancasila mengakui Tuhan sebagai pencipta serta sumberkeberadaan dan menghargai religius dalam masyarakat sebagai yang bermakna. Kebebasan agama adalah satu hak yang paling asasi diantara hak - hak asasi manusia, karena kebebasan agama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan agama bukan pemberian negara atau pemberian perorangan atau golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk agama tertentu.
F. Pemahaman lingkungan pendidikan terhadap pancasila
Dalam dunia pendidiakn dikenal tripusat pendidikan, yaitunya tiga pusat pendidikan, mereka diantaranyan adalah:
1. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang yang mempunyai hubungan pertalian darah. Keluarga itu dapat berbentuk nucleus family ataupun keluarga yang dapat di perluas yaitu trdiri dari ayah, ibu, anak, kakek/nenek, paman/tante, adik/kakak, dan lain-lain. Bentuk seperti ini sangat banyak di temukan pada struktur masyarakat Indonesia.
Ibu merupakan anggota keluarga yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya anak, namun pada akhirnya seluruha anggota keluarga ikut berinteraksi dengan anak, di samping factor iklim social, factor-faktor lain seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahan dan sebagainya. Ikut pula mempengaruhi tumbuh kembangnya anak. Dengan kata lain tumbuh kembang anak di pengaruhi oleh seluruh situasi dan kondisi keluarga.
2. Lingkungan Sekolah
Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang di selengarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar dengan organisasi yang tersusun rapi, terencana, berjenjang dan berkesinambungan. Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah dan mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat maju, adil, dan makmur.
3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah salah satu lingkungan pendidikanyang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi seseorang.
Dari ketiga kaitan antara masyarakat dan pendidikan tersebut, dapat di lihat peran yang telah disumbangkan dalam rangka tujuan pendidikan nasional yaitu ikut membantu menyelenggarakan pendidikan, mambantu pengadaan tenaga, biaya, prasarana dan sarana, menyediakan lapangan pekerjaan dan membantu mengembangkan profesi baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam pendidkan nasional hal semacam ini di sebut ‘ Pendidikan kemasyarakatan’ yaitu usaha sadar yang memberikan kemungkinan perkembangan social, cultural, keagamaan, kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa, keterampilan, keahlian/profesi yang dapat di manfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakatnya. Terdapat sejumlah lembaga kemsyarkatan yang mempunyai fungsi dan peran edukatifyang besar antara lain, organisasi kepemudaan ( karang taruna, pramuka, dll ) organisasi keagamaan dan sebagainya.
Secara kongkrit peran dan fungsi pendidan kemasyarakatan dapat di kemukakan sebagai berikut:
1. Memberikan kemampuan professional untuk mengembangkan karier melalui kursus, seminar, konferensi, dan lainnya.
2. Memberikan kemampuan teknis akademik dalam suatu system pendidika nasional seperti sekolah terbuka, pendidikan melalui madia elektonik.
3. Ikut serta mengembangkan kemampuan kehidupan beragama melalui pendidkan agama di mesjid.
4. Mengembangkan kemampuankehidupan social budaya melalui benggel seni, teater, olahraga, dan sebagai nya.
5. Mengembangkan keahlian dan keterampilanmelalui system magang untuk menjdi ahli, serti ahli mesin.
Agar peran lembaga social/pendidikan kemasyarakatan bisa mantap pertumbuhan dan perkembangannya, maka perlu di koordinasikan oleh pemerintah. Karena pendidikan kemasyarkatan perlu wahana yang amt besar artinya perkembangan individu dan masyarakat yang sedang membangun.
Ketiga pusat lingkungan pendidikan diatas memberikan andil dalam pendidikan di manapun berada. Sekarang dalam kenyataannya, apakah mereka telah memahami masing-masing nilai pancasila? Tentu saja masih jauh dari harapan, selain pancasila yang masih bersfat kontekstual sehingga menyulitkan masyarakat dalam memahaminya, publikasi dari nilai-nilai pancasila juga kurang dilakukan.

G. Pelaksanaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pendidikan Berkarakter
Sebagai warga dalam pendidikan, baik itu guru, keluarga maupun masyarakat harus memahami nilai-nilai pancasila sehingga mampu menerapkan dalam praktek belajar kepada anak didiknya.
Jika dilihat dari ulasan point F tadi, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pemahaman pancasila saja warga pendidikan telah susah, terlebih lagi dalam pelaksanaannya, tentu para pendidik tidak mengetahui apa yang akan diberikan kepada anak didiknya. Dibawah ini beberapa point yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan nilai-nilai pancasila.
1. Harus memahami nilai-nilai pancasila tersebut.
2. Menjadikan pancasila sebagai aturan hukum dalam kehidupan setelah alquran dan sunnah.
3. Memberikan contoh pelaksanaan nilai-nilai pendidikan kepada peserta didik dengan baik.
Dengan melaksanakan tiga point diatas, diharapkan cita-cita bangsa yang ingin melaksanakan pendidikan berkarakter sesuai falsafah pancasila akan terwujud. Karena bagaimanapun juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang setiap waktu, sehingga tidak mungkin rasanya menghambat perkembangan itu, sehingga satu-satunya jalan dalam menerapkan pendidikan berkarakter adalah dengan melaksanakan point-point diatas.





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Arti Pancasila berasal dari bahasa sansekerta India (kasta brahmana). sedangkan menurut Muh Yamin, dalam bahasa sansekerta , memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu : panca : yang artinya lima, syila : vokal i pendek, yang artinya batu sendi, alas, atau dasar. Syiila vokal i panjang artinya peraturan tingkah laku yang baik atau penting.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008),
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut.
Karakter bangsa pada saat sekarang ini jauh dari yang diharapkan, para pelajar tidak lagi mengetahui norma-norma yang berlaku serta adab sopan santu orang timur. Banyak fenomena yang terjadi ditengah masyarakat pada saat sekarang ini yng menunjukkan betapa rendahnya moral anak bangsa.
Kontribusi filsafat Pancasila sebagai landasan pendidikan bisa pula dilihat secara das sein (fakta sebagaimana adanya) dan das sollen (bagaimana yang diinginkan dan seharusnya). Sila-sila dalam Pancasila merupakan realitas yang tumbuh subur berabad-abad di bumi nusantara. Aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial dipetik dari bumi Indonesia sendiri, yang menjadi ruh landasan bernegara dan bermasyarakat. Pemeliharaan aspek-aspek tesebut selama berabad-abad merupakan bidang pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang makin memperkokoh landasan bernegara. Fakta semacam ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena das sein tersebut secara nyata telah menjadi acuan landasan bernegara.
Dalam dunia pendidiakn dikenal tripusat pendidikan, yaitunya tiga pusat pendidikan, mereka diantaranyan adalah:
1. Lingkungan Keluarga
2. Lingkungan Sekolah
3. Lingkungan Masyarakat
Sebagai warga dalam pendidikan, baik itu guru, keluarga maupun masyarakat harus memahami nilai-nilai pancasila sehingga mampu menerapkan dalam praktek belajar kepada anak didiknya.
Jika dilihat dari ulasan point F tadi, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pemahaman pancasila saja warga pendidikan telah susah, terlebih lagi dalam pelaksanaannya, tentu para pendidik tidak mengetahui apa yang akan diberikan kepada anak didiknya.

B. Saran
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat dan tidak dapat lagi dibendung. Perkembangan iptek ibarat pisau silet yang memiliki dua mata sisi yang tajam, disatu sisi memiliki dampak positif yaitu mampu membawa peradaban kearah yang lebih baik, namun disisi lain membawa efek negative, yaitunya perpaduan kebudayaan yang berbeda.
Indonesia dikenal memiliki budaya timur yang elok dan baik, namun harus terkikis oleh kebudayaan barat yang menjunjung tinggi budaya liberal dan sekuler. Satu-satunya jalan dalam menanggulangi permasalah ini adalah dengan memberikan karakter pada setiap anak bangsa agar dapat memfilter diri dari budaya yang tidak baik.
Indonesia yang memiliki falsafah pancasila tentunya melandaskan pendidikan pada pancasila, namun hal tersebut kurang terlaksana pada dilapangan. Hal tersebut dikarenakan pancasila yang masih bersifat konstektual sehingga membuat para pendidik sukar dalam memahami makna yang tersirat didalamnya. Permasalahan ini tidak terlepas dari peran pemerintah untuk mempublikasikan nilai-nilai pancasila kepada masyarakat umum agar mengerti akan nilai pancasila tersebut. Pancasila saja tidak cukup menjadikan bangsa ini berkarakter, perlu nilai lain seperti nilai islam dan nilai kebudayaan bangsa dalam membantu pembentukan karakter bangsa ini.

















DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Diambil pada tanggal 18 Desember 2011 dari
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.htmlIstilah
Betrand Russel.2002. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Danumihardja, Mintarsih. 2011. Filsafat Pancasila (Diktat Perkuliahan).
Ismaun.2007. Filsafat Administrasi Pendidikan(Serahan Perkuliahan ). Bandung : UPI
Ismaun.2007. Kapita Selekta Filsafat Administrasi Pendidikan (Serahan Perkuliahan). Bandung : UPI
Koento Wibisono.1997. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar